Friday, May 20, 2011

Pengaruh Harga Minyak bagi Perekonomian Indonesia

Perekonomian Indonesia hingga saat ini masih sangat tergantung pada minyak, karena selain sebagai produsen minyak, Indonesia telah menjadi konsumen pengimpor minyak.  Hal ini diutarakan oleh Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro akhir-akhir ini pada saat pertemuan dengan media di Departemen ESDM, Kamis (14/8).  

Dengan asumsi bahwa target produksi (lifting) bisa mencapai 970.000 barel per hari. Akan tetapi harapan dan target pemerintah itu, ibarat pepatah “Jauh panggang dari api”. Karena saat ini lifting Indonesia jauh dari yang ditargetkan. Indonesia hanya bisa mampu mencapai lifting sebesar 944.000 barel per hari. Dengan tidak tercapainya target lifting tersebut, pemerintah mau tidak mau harus mengimpor minyak sekitar 500 ribu barel per hari, untuk memenuhi volume kebutuhan minyak di Indonesia yang kurang lebih mencapai 1,4 juta barel per hari.

Harga BBM yang dipatok pemerintah Indonesia dalam APBN 2011 berdasarkan asumsi makro adalah US$ 80 per barel. Namun jika dilihat dari data, baik pemerintah maupun media publik, lonjakan harga minyak dunia terhadap harga minyak mentah Indonesia (ICP) sudah pada tahap yang krusial. Pasalnya, saat ini, rata-rata harga minyak mentah Indonesia hingga bulan Maret telah mencapai US$ 100,4 per barel.


Perubahan harga minyak yang signifikan akan berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia.  Bila harga minyak dunia meningkat, maka selain pendapatan negara meningkat, subsidi juga akan ikut meningkat.  Demikian pula sebaliknya bila harga minyak menurun, pendapatan negara ikut turun, tetapi subsidi juga akan berkurang.

Apabila harga ICP telah melampaui patokan APBN 2011 (US$ 80 per barel), maka harga minyak tersebut telah berpengaruh signifikan terhadap defisit APBN kita. Hal ini karena setiap kenaikan minyak US$ 1 per barel, akan menggerus subsidi sebesar 800 miliar. Dengan asumsi bahwa apabila kita kekurangan minyak sebesar 24 barel per hari, maka pemerintah harus menyuntik lagi anggaran sebesar 19,2 triliun untuk menutupi kekurangan BBM. Menurut pemerintah (Menteri Keuangan), apabila harga minyak terus meningkat, maka defisit anggaran sampai akhir 2011 bisa bertambah 10 triliun hingga Rp 17 triliun. Dan apabila harga minyak dunia terus meningkat, maka defisit APBN kita bisa bertambah parah lagi.

Di tengah ancaman situasi ini, pemerintah terjebak dalam dilematisme akut. Pasalnya, turunnya harga minyak pada periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) sebelumnya, turut memberikan sumbangsih pencitraan yang luar biasa hingga terpilih yang kedua kalinya (pada pemilu 2009). Kondisi ini akan berbalik (citra SBY akan turun), manakala bila pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM. Kendatipun menaikan harga BBM merupakan keharusan yang realistik.

Yang dapat dilakukan sekarang adalah melakukan penghematan energi, termasuk minyak.  Penghematan energi tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, swasta, atau masyarakat saja, namun oleh semuanya sebagai satu kesatuan.

Perihal energi alternatif, Purnomo Yusgiantoro menyatakan bahwa pada saat ini merupakan kesempatan yang paling baik bagi kita untuk mengembangkan energi alternatif, dimana hampir 50% dari pemakaian energi kita adalah dari minyak bumi.  Tingginya harga minyak, merupakan suatu insentif bagi energi alternatif untuk menggantikan ketergantungan kita pada minyak bumi.

Harus ada suatu perspektif untuk memasukkan aspek ketahanan energi dengan tidak hanya mengandalkan minyak impor. Demikian juga tidak hanya mengandalkan bahan bakar minyak. Tetapi beralih ke bahan bakar alternatif seperti elpiji atau bahan bakar nabati, sembari menigkatkan kapasitas lifting kita.

Pengalihan subsidi pun demikian, mesti diberikan pada mereka yang benar-benar berhak mendapatkannya. Keterlambatan pemerintah dalam mengambil keputusan, akan menimbulkan lonjakan harga terselubung, serta efek yang akan semakin sulit di bendung serta kepanikan yang akan menimbulkan sika-sikap reaktif di tengah masyarakat.


Sumber :

No comments:

Post a Comment