Keberadaan supermarket dan hypermarket di kota-kota besar, salah satunya Jakarta, mulai menimbulkan keresahan di kalangan pedagang kecil yang menggantungkan hidupnya dengan berjualan di pasar-pasar tradisional atau warung-warung kecil. Bukan hanya karena harga yang ditawarkan pengelola supermarket selalu bersaing dengan harga yang ditawarkan oleh pedagang-pedagang kecil, tetapi juga karena letaknya yang kadang berdekatan dengan pasar tradisional, karena Pemda dengan serampangan memberi izin mendirikan supermarketnya kepada para pengusahanya, bahkan pengusaha supermarket diperbolehkan menggusur pasar tradisional.
Seperti yang tertulis di dalam Koran POS KOTA (yang terbit hari Sabtu, 19 Februari 2011), pada tahun 2010, supermarket dan hypermarket, yang tidak lain merupakan perusahaan raksasa yang bergerak dalam bisnis eceran (ritel), berhasil mengantongi omzet yang besarnya sekitar empat kali APBD DKI Jakarta tahun 2011, yakni Rp100 triliun. Jumlah omzet yang sudah sebesar itu akan terus membumbung tinggi jika para raksasa itu terus memperluas dan dan memperbesar cakupan usahanya. Jika nafsu untuk mengekspansi itu tidak segera dihentikan, maka akan semakin banyak pasar-pasar tradisional dan warung-warung kecil yang menjadi mangsanya.
Dalam menjalankan bisnisnya, supermarket menggunakan banyak strategi harga, salah satunya dengan melakukan survei pada pasar tradisional untuk mendapatkan perkiraan tingkat harga pasar. Itulah sebabnya mengapa supermarket bisa menjual produknya dengan harga yang bersaing dengan harga di pasar tradisional. Permaianan harga itu mungkin karena supermarket dan hypermarket mendapatkan barang langsung dari produsen. Berbeda dengan pasar tradisional yang mendapatkan barangnya dari agen. Sehingga supermarket dan hypermarket bisa membandrol barang dagangannya dengan harga bersaing yang relatif lebih murah daripada harga yang dibandrol oleh pedagang-pedagang kecil di pasar tradisional.
Dengan fakta yang seperti itu, pengamat ekonomi Iman Sugema menyatakan analogi supermarket dengan pasar tradisional adalah buaya melawan cicak. “Mana mungkin cicak menang,” cetusnya. Apalagi selama ini Pemda atau Pemprov hanya menjadikan pasar sebagai lahan utama penerimaan daerah, tetapi tidak pernah memperhatikan bagaimana kebersihan dan kenyamanan pasar. Apalagi membantu pedagang bagaimana mendapatkan barang yang murah dengan mutu standar. Akibatnya, mereka kalah bersaing melawan pengusaha supermarket.
Pengamat perkotaan, Yayat Supriyatna, bahkan mengatakan kondisi ini terjadi lantaran Pemprov DKI Jakarta tidak punya nyali untuk mengatakan STOP pada pembangunan supermarket. Hal inilah yang menyebabkan mandulnya Perda NO.22 Tahun 2002 Tentang Perpasaran Swasta. “Payung hukumnya sudah ada, yang tidak ada hanya keberanian dari Pemprov,” ujar Yayat. Yayat juga menegaskan tentang isi Perda yang terkait antara pasar modern atau supermarket dengan pasar tradisional. “Yang jelas-jelas memangsa pasar tradisional, ya HARUS DIGUSUR,” tegasnya.
Sumber :
Koran POS KOTA (hari, tanggal terbit : Sabtu, 19 Februari 2011)
No comments:
Post a Comment